Tuesday, October 31, 2017

Kutipan-kutipan Buku Aisyah: Wanita yang Hadir dalam Mimpi Rasulullah



Jangan buat Aisyah sedih,” katanya.
Itulah… sekali lagi dia memanggil ku dengan namaku. Sebenarnya, saat itu kepalaku tertunduk, keningku dipenuhi banyak pikiran. Aku tak memandang wajah seseorang pun, tapi kalimat pendek itu… “Jangan buat Aisyah sedih,” membuatku tertegun. (Pg. 75)
“Kau… telah diperlihatkan kepadaku dalam mimpiku.” Rasulullah berkata seperti ini kepadaku. (Pg. 88)

Tidur nyenyak Rasulullah lebih manis daripada madu, selalu terlihat menyenangkan hati. Aku takut melepaskan tangannya ketika tertidur. Bila terbangun tengah malam, aku mencari-cari dengan tanganku yang gemetaran. Kedua mataku terbakar seperti orang buta bila tak menemukannya. Aku menangis seperti orang buta. Setiap kali ketika ujung jariku menyentuhnya, ah… di waktu tanganku tak bisa memegang tangannya untuk menemukan dirinya di gelap malam. (Pg. 94)
Kerinduan… aku tahu apa itu kerinduan di hari-hari hijrah. Aku bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kerinduan ini kepadaku, yang mengubahnya sebagai sekolah diri. Kedewasaan, tumbuh besar untuk orang lain tak hanya di masa-masa awal kanak-kanak. Berapa pun umur kita, musibah-musibah yang menimpa diri kita merupakan petualangan kedewasaan sebagai jalan pengajaran.

“Perpisahan ini menjadi tabir bagi Aisyah,” ucap ibuku.

“Perpisahan ini adalah mahkota pengantin, mahar bagi Aisyah,” ujar ibuku untuk meringankan bebanku. (Pg. 121)

Kebenaran itu seperti berkah yang terpancar dari niat tulus seindah gunung-gunung, tanpa menanti balasan apapun. Kebenaran ialah ketulusan di dalam senyap-senyap burung yang kelelahan terbang, keledai-keledai yang menyimpan susu, seluruh sayap dan hewan berkaki empat, sampai kepada para pengembara dan orang-orang lemah.

Kebenaran merupakan balasan yang bersih.

Kebenaran… sebuah pernikahan. Mahar. Kebenaran kata-kata. (Pg. 142)
Rasulullah tersenyum. Setiap senyum Rasulullah bagiku adalah hari pernikahanku. (Pg. 142)

Kakakku bertanya kepada Rasulullah, “Jika seseorang menolak karena rasa sopan santun meskipun sebenarnya menginginkannya, kemudian mengucapkan terima kasih, apakah itu juga dihitung dan dicatat sebagai kebohongan, ya Rasulullah?”

Rasulullah sekali lagi menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Kebohongan tetap akan tercatat sebagai kebohongan.” (Pg. 146)
Dia memanggil ku “Uwais!” ketika dirinya bahagia. Beliau suka memainkan hidungku sambil memanggil, “Aisyahku.” Saat dirinya lelah, beliau berkata, “Bicaralah wahai Humaira.” Begitu aku berbicara ke sana-kemari seperti arus air, raut-raut sedih di wajahnya hilang satu per satu.

Ketika menatap, dia seakan-akan melihat darah yang mengalir di pembuluh darahku. Luar dan dalamku satu bagi Rasulullah. Seluruh kewanitaanku, kecemburuanku, kemanjaanku, keingintahuanku, dan ketidaksabaranku terlihat jelas.

Bila berusaha menarik perhatian ku, dia akan berkata, “Wahai putri Abu Bakar, bukankah ini seperti ini…” atau “Wahai putri Ash-Shidiq, bukan seperti itu, tapi seperti ini.” Ketika membicarakan diriku pada orang lain dan Rasulullah berkata begini, “Ibu kalian hari ini berkata seperti ini…” itu berarti ada sesuatu hal yang aku perlu ubah.

Rasulullah menjelaskan satu per satu kepadaku, sabar mendengarkan ku, berbagi kebahagiaan ku. Tanpa kusadari, Rasulullah mengajari diriku seperti seorang murid. Sementara itu, aku selalu rindu kepada Rasulullah meskipun berada di sisinya. Aku tak bisa melewati hidup tanpa Rasulullah ketika aku tidur di sampingnya. Bahkan ketika kedua mataku tertutup pun aku menghitung satu per satu hela napasnya. (Pg. 148)

Aku tak pernah makan melebihi apa yang dimakan Rasulullah. Aku takut dan menjauhi hal-hal duniawi. Apa yang kami dapatkan dari hal duniawi, apa yang bisa kami lakukan dengan api. Rasulullah sudah merupakan sumber kehangatan dan sinar bagi kami.” (Pg. 152)
Tanpa Rasulullah, aku seperti seorang anak kecil yang menggigil kedinginan dalam kegelapan. Kadang-kadang bila malam hari ketika harus berpisah dengan Rasulullah, aku ingin pergi dari dunia ini. Tanpa Rasulullah, udara tak berembus. Pagi tak kunjung tiba di hari-hari tanpa dirinya. Cinta Rasulullah adalah oase di tengah-tengah padang pasir. Sebuah oase yang terpancar dari surga. Bayangkan sendiri apa yang terjadi jika terjadi perpisahan. (Pg. 152)

“Aisyahku, aku tahu kapan kau marah kepadaku.”

“Bagaimana mungkin aku marah kepadamu, ya Rasulullah?”

Dia menyentuh lembut daguku dan menatap dalam-dalam kedua mataku sambil tersenyum.

“Ketika kau benar-benar marah kepadaku, kau berkata, ya Tuhannya Ibrahim, sementara kalau kau baik kepadaku, kau akan berkata, ya Tuhannya Muhammad. (Pg. 156)
Rasulullah tersenyum sambil memainkan hidungku.
“Bicaralah wahai Humaira…”

Dan aku sering bertanya kepada Rasulullah, “Apakah engkau mencintaiku?”

“Iya…”

Aku terdiam sebentar, tapi terasa lama seperti beribu-ribu tahun. Dia menggelengkan kepalanya, mengajak aku berbicara.

“Seberapa besar engkau mencintaiku?”
“Seperti titik-titik yang terlempar ke kain sutra…”
“Maksudnya…”
“Seperti titik-titik yang tak terlihat…”

Jawaban ini seperti sebuah bintang yang dalam seribu tahun sekali turun ke dalam hatiku, penuh dengan cinta.
Kadang-kadang bintangku jatuh. Aku ingin memperbaharui cintaku dengan kata-kata. Dalam bentuk isyarat aku bertanya kepada Rasulullah yang berada dalam kerajaan cinta, “Bagaimana dengan titik kita yang tak terlihat?”

Sambil tersenyum dia menjawab: “Seperti hari pertama…” (Pg. 194)

Para pemuda suka bertanya kepadaku mengenai diri Rasulullah. Aku malah balik bertanya begini kepada mereka, “Apa kalian tak pernah membaca Alquran? Rasulullah itu adalah Alquran yang berjalan.”

Perkataan Rasulullah itu seperti penerang yang terang-benderang. Ia membuka cakrawala. (Pg. 202)
Aku selalu merasakan bahwa hujan itu bermaksud menghapus seluruh kesedihan manusia. Ia memadamkan kobara api kesedihan, rasa letih peperangan, dan rasa asing… (Pg. 251)

Lantas Rasulullah balik bertanya lagi kepada para sahabat: “Menurut kalian dari sisi keimanan siapakah yang paling kuat?”

“Para malaikat ya Rasulullah…”

“Malaikat memang diciptakan untuk beribadah kepada Allah.”

“Para nabi ya Rasulullah…”

“Wahyu turun kepada para nabi dari Allah…”

“Kalau begitu para sahabat…”

“Kalian adalah para sahabat yang bertemu dan berbicara secara langsung dengan nabi kalian…”

“Kalau begitu siapakah itu orang-orang yang beriman kuat ya Rasulullah?”

“Umatku di akhir zaman yang beriman kepadaku dan mencintaiku tanpa mengenalku dan melihatku.”

Mencintai Rasulullah segenap hati, beriman kepadanya, berusaha berjalan di jalannya, merupakan martabat iman yang paling tinggi. (Pg. 255)
Sering kami berdua bekerja bersama-sama. Misalnya, ketika aku memintal kain wol, dia memperbaiki sandal-sandal kulit. Ketika aku memasak, Rasulullah mengambilkan kantung air yang tergantung di tembok dan mengisinya dengan air. Masakan kami tak pernah lepas dari tanaman-tanaman beraroma. Aku membaca Alquran dari hapalanku, sementara Rasulullah mendengarkan aku. (Pg. 264)

Suatu hari mendadak seorang Badui datang menemui Rasulullah di masjid. Ternyata dia telah menempuh perjalanan panjang untuk sampai ke sini. Entah siapa yang tahu persis bagaimana mereka menceritakan mengenai diri Rasulullah kepadanya. Dia masuk ke masjid dan setelah beberapa saat menatap Rasulullah badannya mulai bergemetar. Aku mendengarkan seluruh kejadian itu dari kamarku.

“Jangan takut,” ucap Rasulullah kepada orang Badui itu. “Aku bukan raja. Aku putra seorang perempuan Quraish yang makan daging dikeringkan di bawah sinar matahari.” (Pg. 277)
“Apakah kau mencintai Aisyah?”

“Iya, aku mencintai Aisyah…”

“Bolehkah aku bertanya satu pertanyaan lagi?”

Sekali lagi dia menganggukkan kepala sambil tersenyum. Seakan-akan bintang-bintang bertaburan di kepalanya ingin mendengarkan pembicaraan kami.

“Bagaimana engkau mencintai Aisyah?”

Beliau malah terdiam seperti malu. Beban hidup dirinya sudah sangat berat. Dia adalah seorang jendral. Hatiku sesak ketika dia malah mempercepat langkah untanya maju untuk pergi. Sungguh terlalu banyak pertanyaan yang aku utarakan.

Mengapa aku melakukan hal ini? Mungkin mati lebih baik bagiku…

Kemudian dia menunduk seakan-akan tahu bahwa aku menatapnya. Entah bagaimana mendadak dia memutar balik untanya dan memacu cepat-cepat dan berkata kepadaku, “Seperti hari pertama…”

Kemudian dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara memberikan salam kepadaku dengan pesona seorang pejuang yang mendapatkan kemenangan, lantas berputar cepat menuju ke arah pasukan yang berada di barisan paling depan. (Pg. 287-288)

“Sungguh! Aku tak akan berterima kasih kepada kalian maupun kepadanya. Aku hanya bersyukur dan berterima kasih kepada Allah yang telah menurunkan ayat mengenai diriku dan telah menjauhkan diriku dari fitnah-fitnah itu.” (Pg. 316, setelah akhirnya turun ayat dari Allah kepada Rasulullah yang membuktikan kesucian Aisyah dari fitnah karena “Kalung”.)
Dunia selalu membuat pusing dan tak pernah berhenti bagi orang Mukmin. Bagaimana mungkin bisa berhenti? Dunia merupakan penjara, gelanggang tempat ujian, bagi orang beriman. (Pg. 333)

“Jika kalian memang benar-benar seperti yang kalian katakan, aku akan mengajarkan lima hal lagi sehingga perilaku baik kalian menjadi dua puluh.”

“Silahkan ya Rasulullah!”

“Jangan kau kumpulkan apa yang tidak kalian makan. Jangan dirikan bangunan yang tidak kalian tinggali. Jangan berselisih satu sama lain karena perbedaan. Jauhilah hal-hal yang tak diperintahkan oleh Allah. Berlombalah dalam kebaikan.”

Rasulullah juga sering menasihati kami seperti yang dia lakukan kepada para utusan.

“Dunia adalah tempat ujian yang melelahkan,” ucapnya. “Selain dari orang yang menjauhi larangan Allah, mereka takkan selamat dari tangan-tangan dunia.” (Pg. 346)
‘Ya Umar!’ ucapnya. ‘Kau bertanya soal bekas anyaman dalam tubuhku, padahal kelembutan setelah sesuatu yang keras itu sangat nyaman. Kau sedih karena atap ruangan ini pendek, padahal atap kuburan akan lebih pendek daripada ini. Kita meninggalkan hal duniawi ini kepada ahli dunia, sementara itu mereka menyerahkan akhirat kepada kita. Aku dan dunia itu seperti tentara berkuda yang melakukan perjalanan di tengah musim panas. Tentara berkuda yang letih karena terik panas matahari itu berteduh di bawah pohon, kemudian melanjutkan perjalanan dan meninggalkan tempat itu. Kisra dan Kaisar adalah seorang raja, sementara aku seorang nabi. Aku hanyalah hamba Allah. Aku duduk seperti seorang hamba, makan seperti seorang hamba…’ (Pg. 393)

“Ada berapa emas, Aisyah? Di mana kau menaruhnya?”

Aku lari membawa emas itu kepadanya. Aku seperti juru tulisnya. Rasulullah mengambil emas dari tanganku kemudian mulai menghitung.

“Lima… enam… tujuh…”

Rasulullah menaruh emas-emas itu di telapak tanganku kemudian menutupi dengan jemarinya. “Selama emas ini berada di sini…” katanya.

Kedua mataku terbuka, menatap kedua mata Rasulullah.

“Selama emas ini berada di sini… bagaimana Muhammad bisa pergi ke hadapan Allah?”

Anak panah terlepas dari busurnya, tertancap tepat di tengah-tengah dadaku. Tubuhku membeku. Lidahku tertelan sambil bersandar. Tubuhku mulai bergerak mundur. Seakan-akan dunia berada di tanganku dan tanganku seakan-akan hilang karena beratnya.

“Ambillah ini semua, segera infakkan emas ini…” ucap Rasulullah. (Pg. 425)
Aku adalah Aisyah di masa-masa sulit.

Aku tak pernah merasakan pernikahan lagi selama masa-masa hijrah.

Hari pernikahanku yang sebenarnya adalah hari wafatku, hari ketika aku bertemu dengan rahmat seluruh alam, Rasulullah, orang yang aku cintai.

Aku bersaksi pada perintah Allah, kenangan Rasulullah, wasiat dan amanah Alquran, tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Aku adalah Aisyah.

Aku adalah Aisyahnya Muhammad.

Membaca kisah Rasulullah dari sudut pandang dan kacamata Aisyah, seperti membaca sebuah diary dan surat cinta dari seorang istri untuk mengenang sosok suami tercintanya :)

No comments:

Post a Comment