Wednesday, October 25, 2017

KEUTAMAAN ILMU DAN ULAMA'

Keutamaan Ilmu dan ‘Ulama

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ

“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat….” (al-Mujadilah: 11)

Mengenal Makna Sebagian Mufradat Ayat

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ

Allah meninggikan, maknanya Allah subhanahu wa ta’ala ‘mengangkat’, yaitu mengangkat kaum mukminin di atas selain kaum mukminin dan mengangkat orang yang berilmu di atas orang yang tidak berilmu.

أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ

“orang-orang yang diberi ilmu”, yang dimaksud ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu syar’i. Sebab dengannyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam mengamalkan agamanya berdasarkan tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

دَرَجَٰتٖۚ

“Beberapa derajat.”

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Yaitu derajat di dalam agama ketika mereka melaksanakan apa yang diperintahkan.”



Tafsir Ayat

Ayat Allah subhanahu wa ta’ala yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan orang-orang yang senantiasa menuntut ilmu agama. Di samping karena keimanan yang mereka miliki, mereka juga diangkat derajat dan kedudukannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena bertambahnya ilmu agama mereka, yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan dan mendekatkan kepada keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini,

– Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum, dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka. (Mereka taat) pada apa yang diperintahkan kepada mereka untuk melapangkanir(majelis) ketika mereka diperintahkan untuk melapangkannya atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila diperintahkan mereka untuk bangkit kepadanya.

Dengan keutamaan ilmu yang mereka miliki, Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu dari ahlul iman (kaum mukminin) di atas kaum mukminin yang tidak diberikan ilmu, jika mereka mengamalkan apa yang mereka diperintahkan.” Lalu beliau menukilkan beberapa perkataan ulama salaf, di antaranya Qatadah rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya dengan ilmu, pemiliknya memiliki keutamaan.

Sesungguhnya ilmu memiliki hak atas pemiliknya, dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim, adalah keutamaan. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada setiap pemilik keutamaan, keutamaannya.” (Tafsir ath-Thabari, juz 28 hlm. 19)

 Antara Ilmu dan Ibadah

Menuntut ilmu juga merupakan jenis ibadah. Namun ilmu merupakan jenis ibadah yang memiliki nilai dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan jenis ibadah lainnya. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَضْلُ الْعِلْمِ خَ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ وَمِ كَالُ الدِّينِ الْوَرَعُ

“Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Dan kunci agama adalah bersikap wara’ (meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan memudaratkan di akhirat, pen).” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar, Abu Nu’aim, al-Hakim, dll, dari hadits Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Qais bin’ Amr al-Mula’i, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 4214. Lihat pula Shahih Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi no. 27)

Hadits ini menjelaskan demikian mulianya ilmu dan penuntut ilmu. Ini disebabkan karena seorang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya, mendakwahkannya, hingga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah kepada orang lain dengan sebab dakwahnya, maka menjadi salah satu amal jariyah baginya.

Selama ada yang mengamalkan ilmunya tersebut, maka dia akan terus mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala walaupun dia telah meninggal. Berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat sunnah dan semisalnya, tidak ada yang merasakan manfaatnya kecuali hanya dirinya sendiri.

Ishaq bin Manshur rahimahullah berkata, “Aku bertanya kepada al-Imam Ahmad tentang perkataannya, Mudzakarah (mengulang-ulangi) ilmu pada sebagian malam lebih aku senangi daripada menghidupkannya (dengan qiyamul lail). Ilmu apakah yang dimaksud?” Beliau menjawab, “Yaitu ilmu yang memberi manfaat kepada manusia dalam perkara agamanya.” Aku bertanya lagi, “Dalam hal (cara) berwudhu’, shalat, puasa, haji, talak, dan semisalnya?” Beliau menjawab, “Iya.” (Shahih Jami’ al- Bayan, 30/45)

Diriwayatkan pula Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّ ةَالِ النَّافِلَةِ

“Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Shahih Jami’ al-Bayan, 31/48)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui ada satu ibadah yang lebih afdhal daripada seseorang yang mempelajari ilmu.” (Shahih Jami’ al-Bayan, 46/78)



Kemuliaan Para Ulama

Ayat Allah subhanahu wa ta’ala ini menjelaskan demikian tingginya derajat dan kedudukan para ulama di atas yang lainnya. Merekalah orang-orang yang senantiasa mendapatkan kemuliaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan juga di kalangan manusia. Di dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

نَرۡفَعُ دَرَجَٰتٖ مَّن نَّشَآءُۗ

“Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki.” (Yusuf: 76)

Al-Imam Malik rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (dikeluarkan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Bayan)
Zaid bin Aslam rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَقَدۡ فَضَّلۡنَا بَعۡضَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ عَلَىٰ بَعۡضٖۖ وَءَاتَيۡنَا دَاوُۥدَ زَبُورٗا ٥٥

“… Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur (kepada Dawud).” (al-Isra: 55)

kata beliau: “yaitu dengan ilmu.” (Shahih Jami’ al-Bayan, 46/79).

Diberitakan oleh Asy’ats bin Syu’bah al-Misshishi bahwa beliau berkata, “Suatu hari Harun ar-Rasyid pergi ke Raqqah. Lewatlah serombongan orang di belakang Abdullah ibnul Mubarak, terputuslah sandal-sandal, debu-debu bertebaran. Lalu salah seorang budak wanita Amirul Mukminin melongok dari dalam istana, lalu bertanya, ‘Siapa ini?’

Mereka menjawab, ‘Seorang alim dari Khurasan telah datang.’

Berkatalah sang budak, ‘Demi Allah, inilah kerajaan sebenarnya, bukan kerajaan milik Harun yang mengumpulkan manusia dengan tentaranya dan para pembantunya’.” (Siyaru A’lam an- Nubala, adz-Dzahabi, 8/384) Wallahi, inilah kemuliaan yang sebenarnya.

Suatu hal yang mustahil bagi mereka yang ingin menegakkan syariat Islam, mendirikan khilafah Islamiyah, namun menempuhnya dengan cara-cara yang batil, dengan membentuk partai, masuk ke dalam parlemen, menundukkan dirinya di hadapan demokrasi yang thaghut, dan tidak membangun segala aktivitasnya di atas ilmu yang haq dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh mereka hanyalah mencari sesuatu yang bersifat fatamorgana, sebagaimana sebuah syair,

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا

إِنَّ السَّفِينَةَ لَا تَجْرِي عَلَى الْيَبَسِ

Kalian mengharapkan keselamatan namun tidak menempuh jalan-jalannya

Sesungguhnya kapal tidak akan berlayar di atas tempat yang kering

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Di antara tanda berpalingnya Allah subhanahu wa ta’ala dari hamba-Nya adalah dia menjadikan sibuk terhadap apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr)

Dengan ilmulah seseorang akan mendapatkan kemuliaan dunia sebelum akhirat. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah memilih Thalut untuk memimpin Bani Israil, firman-Nya,

وَقَالَ لَهُمۡ نَبِيُّهُمۡ إِنَّ ٱللَّهَ قَدۡ بَعَثَ لَكُمۡ طَالُوتَ مَلِكٗاۚ

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’…” (al-Baqarah: 247)

Di dalam Shahih Muslim dari ‘Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdil Harits bertemu ‘Umar di ‘Usfan. Ketika itu ‘Umar mengangkatnya sebagai gubernur di Makkah. Kemudian ‘Umar bertanya, “Siapa yang engkau angkat jadi pemimpin daerah lembah?”

Beliau menjawab, “Ibnu Abza.”

(‘Umar) bertanya, “Siapa Ibnu Abza?”

Beliau menjawab, “Dia adalah salah satu bekas budak kami.”

(‘Umar) bertanya, “Engkau jadikan yang memimpin mereka dari kalangan maula (bekas budak)?”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya dia mempunyai ilmu tentang kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan alim dalam ilmu warisan.”

‘Umar berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Nabimu shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ

“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) sebagian kaum dengan kitab ini (al-Qur’an), dan dengannya Allah subhanahu wa ta’ala merendahkan yang lainnya.”

Ahmad bin Ja’far bin Muslim rahimahullah berkisah, “Aku mendengarkan Abbar berkata, ‘Ketika aku berada di al-Ahwaz, aku melihat ada seorang laki-laki yang telah mencukur habis kumisnya,—(Ahmad bin Ja’far berkata) aku menyangka dia berkata—dia telah membeli beberapa kitab dan siap menjadi seorang mufti.

Lalu disebutkan kepadanya ashabul hadits, maka dia menjawab, ‘Mereka tidak ada apa-apanya, mereka tidak memiliki apa-apa.’

Aku pun berkata (kepadanya), ‘Engkau tidak pandai mengerjakan shalat.’

Dia berkata, ‘Aku?’.

Aku menjawab, ‘Iya, apa yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika engkau membuka shalatmu dan mengangkat kedua tanganmu?’

Dia terdiam. Aku pun bertanya kembali, ‘Apa yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala engkau sujud?’

Dia kembali terdiam. Aku berkata, ‘Bukankah aku telah mengatakan engkau tidak pandai mengerjakan shalat? Janganlah engkau menjelekkan ashabul hadits’.” (Siyaru A’lam an-Nubala, adz-Dzahabi, 13/444)



Ulama adalah Para Mujahid

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan orang-orang yang menuntut ilmu sebagai salah satu bagian dalam jihad fi sabilillah.

Firman-Nya,

وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)

Abu Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa yang menganggap bahwa berangkatnya seseorang mencari ilmu itu bukan jihad, maka sungguh dia kurang akal dan pikiran.” (Shahih Jami’ al-Bayan, 35/56)
Kepada merekalah kaum muslimin diperintahkan untuk merujuk ketika menghadapi berbagai problem di dalam agama mereka. Baik masalah bersuci, shalat, puasa, zakat, jihad, maupun persoalan-persoalan kontemporer (fiqh nawazil) lainnya.

Barang siapa yang membagi para ulama menjadi dua: ulama dalam urusan jihad dan ulama mengurusi selain jihad, sungguh dia telah terjerumus dalam kebatilan yang nyata.

Al-Albani rahimahullah berkata, “Jika sekiranya sikap memberontak terhadap pemerintah mendatangkan kejahatan yang telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i yang saling menyatu, disertai dengan berbagai kejadian yang nyata, sebagaimana yang tampak dari hasil perbuatan para ahli bid’ah di setiap zaman.



Ditulis oleh al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamaluddin Al-Bugisi

No comments:

Post a Comment